Minggu, 15 Maret 2009

EKOSISTEM PERMUKIMAN DAN KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT

Ekosistem permukiman dalam hal ini sebuah ekosistem kota merupakan lingkungan buatan yang seutuhnya diciptakan manusia termasuk hubungan sosialbudayanya diciptakan untuk mereka sendiri. Ekosistem kota merepresentasikan ekpresi tertinggi dari perkembangan teknologi dan evolusi budaya manusia. Komponen yang mudah dikenali sebagai bagian dari ekosistem kota adalah bangunan gedung, komplek perumahan dan jaringan sarana transportasi. Juga termasuk di dalamnya sejumlah jenis tanaman dan binatang yang ditempatkan pada tempat hidup yang spesifik. Karakteristik dasar dari ekosistem kota secara umum tidak berbeda dengan ekosistem agrikutur. Di kedua ekosistem tersebut terjadi interaksi antara komponen hayati dan non hayati, kedua-duanya dipengaruhi oleh manusia. Namun dominansi peran manusia pada ekosistem kota jauh lebih tinggi, manusia mengendalikan komponen utama dalam lingkungan kota, yaitu manusia, komponen non-manusia, dan struktur fisiknya.

Manusia mengharapkan penyusun ekosistem kota bekerja bersama-sama untuk mendukung kehidupan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Namun demikian, komponen-komponen itu dan interaksi antar mereka seringkali menimbulkan masalah dalam pandangan manusia (antrophosentris).

Sejarah pekembangan kota menunjukkan bahwa pada awal tahun 1800 masyarakat yang hidup di ekosistem perkotaan diperkirakan hanya 1,7% dari seluruh populasi dunia. Pada saat itu masyarakat hidup di pedesaan dengan lingkungan hidup agraris. Hadirnya masyarakat industri pada akhir tahun 1800-an memulai kecenderungan terjadinya urbanisasi secara global. Pada tahun 1950 populasi masyarakat kota meningkat menjadi 28%, pada tahun 1985 mencapai 42%, dan pada tahun 2000-an akibat pertumbuhan pesat dari penduduk kota menyebabkan setengah penduduk dunia akan tinggal pada kota-kota besar. Tidak mengherankan jika pada saat ini disebut sebagai urban millineum.

Seperti halnya perkembangan kota-kota lainnya di dunia, perkembangan kota-kota di Indonesia pun mengalami percepatan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Sebagai contoh misalnya Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, diduga akan mengalami pertambahan ganda (doubling-time) dari apa yang terjadi pada saat ini. Jumlah penduduk kota ini akan meningkat dari 9.842.800 jiwa menjadi 19.773.875 jiwa sehingga kepadatan penduduk akan meningkat dari 14.851 jiwa/km2 menjadi 29.870 jiwa/km2. Di samping itu perkembangan megapolitan Jakarta dengan wilayah sekitarnya telah menyatu membentuk kawasan megapolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Kawasan ini juga pada akhirnya mengalami pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat tinggi, dari 16 juta jiwa pada tahun 1990, meningkat menjadi 19 juta jiwa pada tahun 1996 dan diperkirakan pada tahun 2020-an akan mencapai 30,2 juta jiwa. Demikian halnya dengan apa yang terjadi pada perkembangan kota-kota lain di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Perkembangan metropolis Surabaya telah menyebabkan meningkatnya urbanisasi sehingga jumlah penduduk Kota Surabaya juga diduga akan mengalami peningkatan dari 2.599.796 jiwa pada tahun 2005 menjadi hampir 4 juta jiwa pada tahun 2010. Peningkatan laju pertumbuhan kota Surabaya diikuti oleh perkembangan kota-kota seperti Sidoarjo, Gresik, dan Pasuruan.

Peningkatan jumlah penduduk di ekosistem perkotaan dimbangi dengan pertumbuhan ekonomi kawasan dan aset pembangunan seperti infrastruktur kota, jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, apartemen, dan lain-lain. Namun demikian terjadi pula peningkatan perubahan bentang alam, konversi lahan, peningkatan ketidakteraturan, berkurangnya kebersihan dan meningkatnya volume sampah serta pencemaran udara serta air. Di samping itu, muncul permasalahan yang berkaitan dengan hadirnya organisme-organisme vektor penyakit (hama permukiman). Kehadiran organisme vektor penyakit ini merupakan bagian dari masalah yang muncul pada ekosistem kota .

Berbagai vektor penyakit yang sebagian besar dari kelompok serangga mampu beradaptasi pada lingkungan yang khas dan kondisi yang diciptakan oleh manusia dan menjadi toleran terhadap kondisi suhu serta kelembaban tertentu yang merupakan karakteristik lingkungan hidup manusia.

Mengapa Vektor Penyakit Suksek Hidup dalam Ekosistem Perkotaan ?

Bagian terbesar dari organisme yang berperan sebagai vektor penyakit adalah kelompok serangga (antropoda). Tidak mengherankan karena serangga dapat kita jumpai dimana saja dan merupakan kelompok terbesar dari kingdom animalia (dunia binatang). Kelompok binatang ini menempati separuh spesies makhluk hidup yang ada di muka bumi. Keragamannya yang sangat besar, tentunya menunjukkan kemampuan dari kelompok binatang ini untuk bertahan hidup dalam setiap relung habitat yang ada di muka bumi termasuk untuk bertahan hidup pada lingkungan yang diciptakan manusia. Terdapat beberapa alasan mengapa serangga mampu hidup sukses dalam ekosistem perkotaan.

Ukuran dan Habitat Yang Efektif

Banyak serangga yang mudah dilihat karena ukuran yang besar hampir seukuran mamalia kecil namun sangat sukar mencari kutu busuk, tungau atau kepiding karena ukurannya yang kecil bahkan banyak pula serangga lain yang ukurannya jauh lebih kecil sehingga sangat sukar dilihat dengan mata telanjang.

Sebagain besar serangga vektor penyakit memiliki ukuran yang relatif kecil. Karena ukuranya yang kecil serangga vektor penyakit memiliki relung ekologis yang luas, mampu mengeksploitasi berbagai jenis habitat termasuk pada relung-relung/habitat yang luas wilayahnya juga sangat kecil. Sebagai contoh ratusan individu lalat dapat berkembang hanya pada kotoran kecil hewan berukuran besar. Ribuan kecoa dapat ditemukan pada retakan dan lubang-lubang kecil di dapur, sepanjang ada makanan dan air tersedia bagi populasinya. Nyamuk bahkan mampu bertelur, jentiknya hidup hanya pada tutup-tutup botol, kaleng bekas, atau pelepah daun palmae dimana terdapat genangan air yang sangat sedikit. Kemampuan mengekloitasi habitat inilah yang menyebabkan serangga dapat dijumpai dimana-mana di sekitar kita.

Kelimpahan dan Laju Reproduksi

Serangga walaupun berukuran kecil tetapi kelimpahan atau jumlahnya banyak pada suatu luasan tertentu dan mampu mencapai usia dewasa dengan cepat untuk bereproduksi. Kecoa Amerika (Periplaneta americana) dan keturunannya mampu menghasilkan 800 ekor kecoa dalam setahun bahkan kemampuan Kecoa Jerman (Blatella germanica) berreproduksi 3 hingga 4 kali lebih banyak. Satu betina kecoa jerman mampu menghasilkan 4 gerenasi per tahun, satu ekor betina menghasilkan 4-5 kantung telur (ooteka) dimana satu ooteka berisi 30-40 telur. Kecepatan reproduksi, ditambah ukurannya yang kecil dan bentuk tubuh yang pipih, menyebabkan kecoa jenis ini dapat ditemukan dalam jumlah banyak hanya di satu celah kecil di dapur.

Kebanyakan serangga betina menyimpan banyak telur di lokasi yang memiliki sumber makanan yang berlimpah bagi anak-anaknya yang nanti akan menetas. Jadi dapat dikatakan, kebanyakan serangga melalui tahapan reproduksi dan siklus hidup yang cepat. Kedua faktor ini (jumlah dan reproduksi) mengantarkannya menuju kemampuan penyesuaian diri (adaptasi) dengan lingkungannya.

Kemampuan Adaptasi

Ketika mahluk hidup secara seksual mengalami reproduksi relatif cepat dan berjumlah banyak, maka mereka akan menciptakan rentang genetik yang luas. Menciptakan populasi yang besar dengan variatas genetik yang luas berarti bahwa banyak seleksi dapat dilakukan, diantaranya populasi dapat beradaptasi terhadap berbagai kondisi dan tekanan lingkungan yang beragam. Serangga memiliki potensi untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dan dalam hal ini mungkin menjadi senjata mereka ketika melakukan kompetisi dengan manusia untuk memperoleh makanan dan tempat tinggal.

Kajian kepurbakalaan menunjukkan perkembangan phylogeni serangga yang mengagumkan. Serangga telah hadir ratusan juta tahun yang lalu dan mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungan biofera bumi. Kemampuan serangga untuk beradaptasi terhadap kondisi dan kemampuan menginvasi lingkungan mengarahkannya menuju perubahan cara mereka tumbuh dan berkembang. Serangga yang lebih primitif (seperti kecoa dan rayap) melalui perubahan kecil ketika mereka tumbuh dan menjadi dewasa, tetapi beberapa serangga yang lebih moderen melalui berbagai macam perubahan bentuk ketika mereka mencapai dewasa. Lalat, nyamuk dan kutu melalui metamorfosis sempurna yaitu perubahan bentuk yang lengkap ketika mereka tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Tahapan muda (larva) merupakan mesin makan, memulai hidup dengan menetaskan dirinya dari kulit telur di dalam atau di atas sumber makanan dan melewati hidupnya sebagai larva dengan cara makan dan tumbuh membesar. Ketika makanan cukup diakumulasi dalam lemak tubuhnya, serangga berubah kedalam bentuk lain (kepompong/pupa), yang seringkali melindungi diri dalam selubung yang didalamnya serangga mengalami transformasi yang luar biasa, perubahan menuju lalat, nyamuk atau kumbang dewasa, pupa menjadi imago, larva dengan mulut mengunyah menjadi serangga dewasa yang memiliki mulut menggigit dan menghisap. Tahap dewasa ini menghabiskan waktunya untuk menemukan pasangan dan menghasilkan keturunan berikutnya. Makan menjadi relatif tidak penting bagi serangga dewasa kecuali untuk betina yang memerlukan protein dan nutrisi lainnya untuk perkembangan telur seperti halnya nyamuk betina yang perlu darah untuk mematangkan telurnya.

Setelah melewati berbagai rentang waktu, melalui siklus hidup dan keanekaan genetik yang luas, beberapa strain serangga beradaptasi terhadap pengendali kimia dengan mengembangkan mekanisme resistensi terhadap pestisida yang digunakan.

Kemampuan beradaptasi karena adanya variasi genetik dan siklus hidupnya yang pendek merupakan alasan kemampuan hidup serangga dalam lingkungan hidup perkotaan.

Hewan Berpenutup Tubuh

Serangga, tidak seperti hewan tingkat tinggi, melindungi dirinya dengan rangka di luar tubuhnya. Penutup tubuh ini atau integumen terbuat dari kitin yaitu materi polimer terang yang memiliki fleksibilitas tetapi harus secara periodik terkelupas dan digantikan ketika tumbuh.

Intergumen merupakan tempat melekatnya otot-otot serangga. Penutup serangga juga merupakan lapisan-lapisan pakaian yang baik yang melindunginya dari kehilangan air tubuhnya. Seandainya penutup serangga bukan polimer kitin, dan tidak dilapisi oleh semen dan lilin maka serangga akan mudah mati akibat penguapan. Proses penyamakan (tanning) yang diikuti oleh kondensasi protein dalam lapisan kulitnya merupakan faktor yang penting dalam menentukan impermiabilitasnya terhadap air. Bila setetes air diteteskan pada seekor lalat, tetesan air itu akan habis menguap dalam waktu singkat tetapi air di dalam tubuhnya akan terlindung dari penguapan sehingga seekor lalat tidak akan mati. Serangga disamping dapat menahan penguapan juga dapat mengabsorsi air melalui spirakel yang ada pada intergumennya.

Serangga yang berukuran kecil dan memiliki luas permukaan yang besar sangat rentan mengalami penguapan, namun karena berpenutup tubuh yang unik maka ia mampu mengatasi masalah dan bertahan hidup.

Kemampuan untuk Terbang

Serangga merupakan hewan pertama yang mengembangkan kemampuan untuk terbang dan kemampuan ini sangatlah berperan penting dalam kesuksesannya berkompetisi dengan manusia. Kemampuan terbang ini menjadi modal perjuangan serangga untuk berkompetisi dengan manusia dan lingkungannya.

Masih banyak kemampuan serangga lain yang menyebabkannya mampu hidup sukses dalam lingkungan perkotaan. Telur nyamuk Aedes aegypti walaupun biasa diletakkan diatas air, namun mampu bertahan hidup lama, walaupun tanpa air, cukup pada lingkungan yang lembab. Seakan-akan telur beristirahat(dorman) menunggu waktu yang tepat untuk menetas. Demikian juga seekor lalat memiliki sepasang mata majemuk yang disusun dari jutaan omatidia menjadikannya sangat hebat dalam menangkap rangsangan visual. Sekolompok semut mengembangkan pertahanan koloninya dengan berbagai mekanisme komuniskasi kimiawi, ada komunikasi penanda bahaya ada komunikasi penanda jejak, dan lain-lain. Serangga mengembangkan kehidupannya yang ajaib sehingga mampu bertahan hidup.

Disamping kelompok serangga, vektor penyakit yang sukses hidup pada ekosistem kota adalah tikus. Tikus sebagai hewan rodentia sukses dalam beradaptasi di berbagai lingkungan, baik lingkungan yang nyaman maupun di lingkungan paling ekstrim sekalipun, seperti di daerah kering, kotor dan tandus. Di ekosistem kota, tikus hidup dan bersarang di saluran/sistem drainase, di rumah-rumah, di gudang-gudang tempat penyimpanan bahan pangan, di gedung-gedung perkantoran, di daerah perdagangan, atau di hotel-hotel dan bangunan gedung lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda pengunjung ke