Sabtu, 11 April 2009

MENGENAL KECOA

Kecoa mempunyai tiga tahapan dalam siklus hidupnya, yaitu telur, nympha, dan dewasa. Telur-telur tersebut disimpan dalam suatu kantung telur yang dinamakan ootheca. Kecoa merupakan serangga yang aktif pada malam hari. Kecoa biasanya menyukai tempat yang gelap, hangat, lembab, dan umumnya hidup di sekitar dapur, kamar mandi, atau basement.

Kecoa dapat mengkontaminasi makanan dan menularkan penyakit-penyakit yang serius, seperti gastroenteritis, keracunan makanan dan diare; bahkan akhir-akhir ini terdapat studi yang menghubungkan kecoa dengan penyakit asma.

Jenis jenis kecoa yang umumnya ditemukan di rumah atau di bangunan gedung adalah:

1. Kecoa Jerman (Blatella germanica). Ukuran panjang tubuh sekitar 12 – 15 mm; berwarna coklat muda dengan 2 garis hitam diatas pronotumnya. Terutama menginfestasi area yang dekat dengan makanan, lembab, dan hangat; kebanyakan ditemukan di sekitar dapur dan gudang.

2. Kecoa Amerika (Periplaneta americana): Ukuran panjang tubuh sekitar 35 – 40 mm; warna tubuh coklat kemerahan dengan tanda terang pada pronotum-nya. Biasanya ditemukan pada area persiapan makanan, makan hampir semua jenis makanan; menyukai tempat yang hangat, lembab; sangat agresif.

3. Kecoa Timur (Blatta orientalis): Ukuran panjang tubuh sekitar 20 – 25 mm, warna tubuh coklat gelap. Seringkali masuk ke dalam rumah melalui saluran pembuangan; cenderung hidup pada area dekat tanah yang hangat dan lembab; juga sering dikenal sebagai kumbang air atau kumbang hitam; memberikan bau yang tidak enak.

Selasa, 07 April 2009

PELATIHAN PT. SETRA SARI



Sebagai pelopor Perusahaan Pest Control yang bersetitifikat ISO 9000:2000, PT. Setra Sari memegang teguh terhadap manajemen mutu. Oleh karena itu dalam rangka penguatan layanan jasa yang dilakukan para karyawannya, PT. SETRA SARI secara periodik menyelenggarakan pelatihan.

Selamat Atas Diraihnya Sertifikat ISO 9000:2000.

Yudi Rismayadi, Trainer Pest Control

MENGENAL RAYAP PERUSAK BANGUNAN


Rayap termasuk ke dalam Klas insekta (serangga) Ordo Isoptera (iso = sama; ptera = sayap). Ordo serangga ini ditandai dengan bentuk sayap yang serupa baik ukuran maupun struktur antara sayap depan dengan sayap belakang. Rayap dikenal pula sebagai serangga sosial, karena hidupnya yang berkelompok dalam satu koloni yang terdiri dari anggota-anggota koloni dengan bentuk dan fungsi yang berbeda atau dikenal sebagai kasta. Pada koloni rayap terdapat tiga kasta yang berbeda yaitu, kasta prajurit pekerja, dan reproduktif. Hingga saat ini di dunia telah berhasil diidentifikasi lebih dari 2500 jenis rayap. Sementara itu di Indonesia ditemukan tidak kurang dari 200 jenis rayap atau kurang lebih 10% dari keragaman jenis rayap dunia. Jenis-jenis rayap tersebut diklasifikasikan ke dalam tujuh famili, 15 sub-famili, dan 200 genus. Pembagian famili adalah sebagai berikut; Famili Mastotermitidae; Kalotermitidae; Termopsidae ; Hodotermitidae ; Rhinotermitidae ; Serritermitidae ; dan famili Termitidae.

Berdasarkan habitatnya, terdapat dua kelompok rayap penting yang banyak menyerang bangunan gedung, yaitu kelompok rayap tanah (subterranean termite) dan rayap kayu kering (drywood termite). Rayap tanah merupakan rayap yang paling banyak menyerang bangunan gedung. Kelompok rayap ini bersarang di dalam tanah tetapi mampu menjangkau objek-objek seranganya yang berada jauh di atas permukaan tanah. Dari pusat sarang di dalam tanah ke objek-objek serangan tersebut dihubungkan oleh saluran-saluran tanah yang disebut sebagai liang kembara sebagai jalan bagi rayap sekaligus sebagai tempat perlindungan. Oleh karena itu setiap serangan oleh rayap ini ditandai oleh adanya tanah liang kembara rayap. Rayap kayu kering tidak bersarang di dalam tanah tertapi bersarang di dalam kayu-kayu kering. Anggota koloninya jauh lebih sedikit dibandingkan anggota koloni rayap tanah. Serangan rayap ini ditandai dengan adanya serbuk-serbuk gerek berbentuk butiran halus di sekitar lokasi serangannya.

Strategi yang digunakan untuk perlindungan bangunan dari serangan rayap tanah di Indonesia meliputi tindakan pencegahan (exluding infestation) dan pembasmian serangan (eradication or remedial infestation). Tindakan pencegahan meliputi penggunaan kayu awet (termite resistant timbers), penghalang fisik (physical barriers) dan penghalang kimia (chemically-treated soil barriers) pada masa pra-konstruksi. Sementara itu tindakan pembasmian serangan rayap dapat dilakukan dengan aplikasi perlakuan kimia pada tanah dan kayu dan penghancuran sarang atau koloni dengan umpan atau dust toxicants pada bangunan yang telah terserang (pasca konstruksi).

Perlindungan bangunan dengan penghalang kimia pada permukaan tanah yang diaplikasikan melalui penyemprotan termitisida dengan tekanan rendah pada proses pembangunan konstruksi merupakan teknik yang paling efektif untuk mencegah serangan rayap. Demikian pula pada saat pasca konstruksi penggunaan perlakuan tanah dengan teknik injeksi termitisida merupakan alternatif yang banyak digunakan.

Termitisida dengan persistensi sangat tinggi, organoklorin (aldrin, dieldrin, chlordane, dan heptaklor) merupakan termitisida utama yang digunakan di Indonesia sebelum dilarang penggunaanya. Setelah golongan organoklorin dilarang beberapa termitisida baru dikembangkan sebagai pengganti, walaupun harus diakui belum ada senyawa pengganti yang dapat melindungi bangunan dalam jangka waktu yang lama. Namun demikian termitisida baru memiliki beberapa keunggulan terutama dalam merespon tuntutan masyarakat terhadap issue lingkungan hidup, seperti; memiliki toksisitas yang rendah terhadap manusia dan mamalia, aktif pada dosis rendah, serta mempunyai volatilitas yang rendah sehingga tidak terpapar di udara. Idealnya sifat termitisida baru juga seharusnya bersifat selektif terhadap organisma sasaran, tidak mencemari sumber air dan perairan, terikat kuat dan aktif sebagai ringtangan kimiawi pada tanah.

Termitisida-termitisida baru yang dikembangkan umumnya mencegah serangan rayap dengan cara mematikan rayap yang kontak dengan bahan kimia, mengusir rayap untuk tidak memasuki lapisan tanah yang telah diberi perlakuan (repelensi), menyebabkan disorientasi aktivitas rayap, maupun mempengaruhi aktivitas rayap.

Minggu, 05 April 2009

MENGENAL TIKUS


Tikus sebagai hewan rodentia merupakan mahluk yang paling sukses dalam beradaptasi di berbagai lingkungan, baik lingkungan yang nyaman maupun di lingkungan paling ekstrim sekalipun, seperti di daerah kering, kotor dan tandus. Di daerah pemukiman tikus hidup dan bersarang di perumahan, di gudang-gudang tempat penyimpanan bahan pangan, di gedung-gedung perkantoran, di daerah perdagangan, hotel-hotel serta tempat rekreasi , dan dalam industri pangan maupun industri manufaktur.


Di tempat-tempat tertentu keberadaan hewan itu sudah tidak dapat ditolelir lagi karena kerugian yang disebabkan oleh hewan ini sangat berarti. Penyusutan bahan karena dimakan oleh hewan ini serta terjadinya kehilangan dan kerusakan telah dilaporkan dapat mencapai lebih dari lima persen. Kerusakan akan lebih parah lagi karena selain memakan bahan makanan tersebut, secara bersamaan tikus dapat menimbulkan kontaminasi dan mengotorinya dengan kotoran, urine, dan bahkan bangkai dari tikus tersebut yang mati di tempat tertentu akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal tersebut sangat berarti seperti di daerah perdagangan/ supermarket, hotel-hotel berbintang, daerah industri pangan, dan bahkan di daerah pemukiman yang sangat mementingkan kenyamanan dan kebersihan. Hal yang menarik lagi adalah pada daerah perkantoran yang berbentuk gedung bertingkat maupun pada beberapa pabrik, tikus ini telah merusak alat maupun kabel-kabel listrik sehingga menimbulkan bahaya rawan terjadinya kebakaran akibat hubungan arus pendek dari arus listrik yang ada.

Kerugian yang sangat berarti dalam kaitannya dengan kesehatan penduduk setempat adalah bahwa tikus dapat berperan sebagai vektor beberapa penyakit menular. Penyakit yang ditularkan oleh tikus secara umum dikenal sebagai zoonosis yaitu penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan vertebrata kepada manusia pada kondisi alami. Penyakit yang ditularkan oleh tikus adalah penyakit pest (plague), murine typhus, leptospirosis, salmonellosis, lymphotic chorio-meningitis (LCM), rickettsial pox, rat-bite fever, rabies, dan penyakit endoparasit lainnya. Dari beberapa penyakit ini yang paling terkenal dan dapat memusnahkan penduduk adalah penyakit pest. Oleh karena dampaknya yang begitu besar maka apabila tikus tersebut kebetulan membawa penyakit sangatlah berbahaya.


Tikus dikenal merupakan hewan yang pandai dan memiliki rasa kecurigaan yang tinggi terhadap benda-benda baru (neofobia) dan memiliki tingkat kemampuan belajar (learning behaviour) yang tinggi terutama terhadap objek-objek baru. New object reaction” merupakan perilaku spesifik dari tikus terhadap benda-benda yang baru dan ini tentunya terdiri dari sekuen perilaku tertentu pula. Sekuen tersebut terdiri dari bereaksi dengan hati-hati dan sangat perhatian yang mendalam pada objek tersebut tetapi menghindari kontak langsung dengan objeknya. Penghindaran diri dari kontak tersebut dapat dilihat dari seleksi rute pergerakan ketika menghindari objek. Selanjutnya investigasi intensif dengan mencium, mengendus, menyentuh sedikit, evaluasi berulang-ulang dan baru setelah yakin akan mendekati dan menggigit lebih banyak tetapi belum dimakan. Apabila setelah yakin objek tersebut tidak berbahaya maka makanan akan dimakan sedikit demi-sedikit dengan selang waktu penerimaan yang panjang. Apabila menyangkut hal yang berbahaya maka akan ada komunikasi berbentuk “alarm call” sebagai peringatan bahaya pada teman atau anggota grupnya.

Beberapa cara pengendalian berikut ini dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tikus di lingkungan bangunan gedung:

1. Perbaikan sanitasi dan higienis lingkungan

Kebersihan lingkungan merupakan prasyarat utama agar tikus tidak datang, menetap dan berkembang biak.

2. Pencegahan dan pengendalian secara fisik

Pengendalian secara mekanik dengan membuat pelindung sehingga tikus tidak dapat masuk ke dalam rumah, pabrik, gudang dan tempat penyimpanan lainnya.

3. Pengendalian secara kimiawi dengan rodentisida

Rodentisida telah lama dikenal dan digunakan beberapa abad yang lalu seperti Arsenik dan Strychnine. Namun didalam perkembanganya penggunaannya semakin selektif dan berdasarkan bahan yang digunakan dapat terbagi menjadi tiga grup yaitu rodentisida single-dose, rodentisida multiple-dose atau antikoagulan, dan fumigant. Beberapa antikoagulan yang berdaya bunuh cepat dan efektif adalah antikoagulan generasi kedua seperti Bromadiolone, Brodifacoum, Coumatetralyl, Difenacoum, dan Flokumafen.

Minggu, 15 Maret 2009

SEKILAS MENGENAI PENYAKIT BERBASIS VEKTOR


Banyak penyakit yang menjangkiti manusia yang disebarkan oleh kelompok binatang, khususnya serangga yang hidup bersama-sama kita di lingkungan permukiman.

Secara garis besar penyakit berbasis vektor dapat disebarkan melalui dua mekanisme transmisi yang berbeda. Sekelompok vektor menyebarkan patogen (penyebab penyakit) melalui mekanisme transmisi biologi atau siklus hidup, dimana patogen hidup dalam binatang atau serangga inangnya dan dalam fase siklus patogen hidup lainnya ditularkan/diinfeksikan oleh serangga inang ke tubuh manusia. Penyakit yang ditularkan melalui mekanisme transmisi biologi tersebut seperti malaria, demam berdarah, leptospirosis, japanese encephalitis, dan lain-lain. Bentuk mekanisme penularan lainnya adalah melalui mekanisme transmisi mekanik atau pasif. Serangga atau binatang tertentu menjadi tercemar di dalam maupun luar tubuhnya karena memakan atau berjalan dalam bahan yang terinfeksi patogen dan kemudian mencemari makanan atau tempat makanan yang digunakan manusia. Semut dan kecoa menjadi salah satu contoh binatang yang berpotensi menularkan penyakit melalui mekanisme transmisi mekanik. Penyakit yang ditularkannya seperti Salmonellosis, diare, disentri, atau hepatitis.


Penyakit Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae, dengan genusnya adalah flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3 dan Dengue 4.

Penularan penyakit demam berdarah melalui vektor penyakit Nyamuk Aedes Aegepti, A. albopictus dan A. Polynesiensis. Nyamuk tertular oleh virus ketika menggigit penderita deman berdarah yang mengalami viremia yaitu dua hingga lima hari setelah demam timbul. Virus selanjutnya berkembang biak di lambung atau organ lain dan berreplikasi di kelenjar liur nyamuk selama 8-10 hari, sebelum nyamuk menjadi infektif (menularkan virus selama hidupnya). Nyamuk yang terinfeksi menularkan penyakit ke tubuh manusia dan virus berkembang selama 4-6 hari di dalam ogan tubuh manusia, menginfeksi sel darah putih dan kelenjar getah bening, selanjutnya dilepaskan dan masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Setelah masa perkembangan itulah gejala klinis demam berdarah timbul.

Penderita yang terinfeksi virus dengue akan memperlihatkan manifestasi klinis yang beragam tergantung pada banyak faktor termasuk serotipe virusnya. WHO membedakan empat manifestasi klinis yang dikenal dengan manifestasi klinis derajat 1 hingga derajat 4. Pada manifetasi klinis derajat satu, penderita akan mengalami demam ringan yang tidak spesifik dan manifestasi perdarahan spontan. Pada derajat kedua dijumpai demam ringan yang tidak spesifik dan manifestasi perdarahan spontan, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat. Selanjutnya pada derajat ketiga, didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< style=""> Manifestasi klinis terberat dikenal sebagai Dengue Shock Syndrome (DSS), yaitu syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.


Penyakit Chikungunya

Chikungunya ditularkan oleh nyamuk yang sama dengan penular demam berdarah yaitu Nyamuk Aedes Aegepti dan Nyamuk A. Albopictus. Virus Chikungunya masuk keluarga Togaviridae, genus alphavirus. Virus tersebut pertama kali diidentifikasi di Afrika Timur tahun 1952. Nama virus chikungunya diambil dari bahasa Swahlii artinya berubah bentuk atau bungkuk, yang menunjukkan kondisi penderitanya memang kebanyakan membungkuk akibat nyeri hebat di persendian tangan dan kaki.

Manfestasi klinis Demam Chikungunya hampir menyerupai dengan Demam Berdarah Dengue. Penderita mengalami demam yang tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut, nyeri sendi dan otot serta bintik-bintik merah pada kulit terutama badan dan lengan. Namun berbeda dengan demam berdarah dengue, pada chikungunya tidak ada perdarahan hebat, renjatan ( schok ) maupun kematian. Masa inkubasi dari demam Chikungunya dua sampai empat hari. Manifestasi klinis penyakit berlangsung tiga sampai 10 hari .


Penyakit Malaria

Malaria adalah suatu penyakit protozoa dari genus plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Malaria dapat juga ditularkan secara langsung melalui transfusi darah, jarum suntik serta dari ibu hamil kepada bayinya. Pada manusia terdapat 4 spesis Plasmodium yaitu falciparum, vivax, malariae dan ovale. Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.

Proses penularan penyakit malaria dimulai ketika nyamuk Anopheles yang terinsfeksi Plasmodium, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia, trombositopeni, dan splenomegali. Berat ringannya manifestasi malaria tergantung jenis plasmodium yang menyebabkan infeksi dan imunitas penderita. Jenis malaria paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi). Jenis malaria yang lain adalah malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana; gejala pertama biasanya terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari. Jenis malaria yang paling berbahaya merupakan penyebab sebagian besar kematian adalah demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium falciparum sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, serta kematian. Jenis keempat dan merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh Plasmodium ovale yang mirip dengan malaria tertiana.

Secara singkat siklus Plasmodium adalah setelah nyamuk Anopheles yang mengandung plasmodium menggigit manusia, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk dan dinfeksikan ke dalam darah dan jaringan hati. Sesuai siklus hidupnya, Plasmodium membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati (ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer ), mulai bentuk tropozoit muda sampai sizon tua / matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merosoit. Merosoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk yang siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia.


Penyakit Filariasis atau Kaki Gajah

Filariasis limpatik atau penyakit kaki gajah adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Wuchereria bancrofti merupakan spesies yang paling umum ditemukan pada kasus infestasi oleh cacing ini. Penyebaran penyakit diperantarai oleh nyamuk sebagai vektor. Kurang lebih terdapat 77 jenis nyamuk dari Genus Anophles, Culex, Aedes, dan Mansonia dapat mendukung perkembangan dan vektor cacing filaria.

Larva infektif cacing filaria (microfilaria) masuk ke dalam darah manusia melalui luka akibat gigitan nyamuk. Nyamuk tersebut mendapat mikrofilaria sewaktu menghisap darah penderita yang mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Selanjutnya larva bermigrasi ke kelenjar limpa dan mengalami perkembangan menjadi cacing dewasa selama 3 bulan sampai satu tahun. Cacing dewasa dapat hidup lima sampai sepuluh tahun dan menimbulkan banyak masalah karena kerusakan pembuluh limfa dan respon sistem imum yang dihasilkan.

Banyak penyakit yang menjangkiti manusia yang disebarkan oleh kelompok binatang, khususnya serangga yang hidup bersama-sama kita di lingkungan permukiman.

Secara garis besar penyakit berbasis vektor dapat disebarkan melalui dua mekanisme transmisi yang berbeda. Sekelompok vektor menyebarkan patogen (penyebab penyakit) melalui mekanisme transmisi biologi atau siklus hidup, dimana patogen hidup dalam binatang atau serangga inangnya dan dalam fase siklus patogen hidup lainnya ditularkan/diinfeksikan oleh serangga inang ke tubuh manusia. Penyakit yang ditularkan melalui mekanisme transmisi biologi tersebut seperti malaria, demam berdarah, leptospirosis, japanese encephalitis, dan lain-lain. Bentuk mekanisme penularan lainnya adalah melalui mekanisme transmisi mekanik atau pasif. Serangga atau binatang tertentu menjadi tercemar di dalam maupun luar tubuhnya karena memakan atau berjalan dalam bahan yang terinfeksi patogen dan kemudian mencemari makanan atau tempat makanan yang digunakan manusia. Semut dan kecoa menjadi salah satu contoh binatang yang berpotensi menularkan penyakit melalui mekanisme transmisi mekanik. Penyakit yang ditularkannya seperti Salmonellosis, diare, disentri, atau hepatitis.



Penyakit Leptospirosis

Leptospirosis dikenal pula sebagai penyakit kuning (weil’s diseases) yang dapat menyerang manusia atau hewan. Penyakit ini diakibatkan oleh bakteri spirochete jenis Leptospira icterohemorrhagiae yang diantaranya hidup pada ginjal tikus dan akan keluar menyebar melalui urine.

Manusia akan terinsfeksi oleh penyakit ini jika kontak dengan air kolam, atau sumber air lain yang terinsfeksi urine tikus yang mengandung Leptospira atau dapat pula bersentuhan dengan tanah lembab atau benda lain yang terkena urine tikus tersebut. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.

Gejala penyakit ini adalah badan merasa menggigil, demam, dan tubuh terasa sakit. Gejala lain yang muncul kadang-kadang adalah meningitis, gangguan ginjal, pendarahan pada kulit, dan membrane mukosa.

Gejala klinis filariasis akut adalah berupa ; demam berulang-ulang selama tiga sampai lima hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening,; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas. Gejala klinis yang kronis adalah berupa pembesaran yang menetap pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar dan lain-lain..


INDONESIA : THE TERMITE'S PARADISE


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia terdiri dari 17.500 pulau dengan panjang garis pantai 80.000 km dan luas daratan tidak kurang dari 187,9 juta ha. Memiliki iklim tropis yang hangat sepanjang than, suhu rata-rata 26,8oC; kelembaban berkisar antara 70-90% dan rata-rata curah hujan tahunan mencapai 2000 mm/tahun. Jenis tanah umumnya kaya akan bahan organik sebagai sumber nutrisi rayap. Kondisi tersebut sangat sesuai untuk kehidupan dan perkembangan rayap, khususnya rayap tanah. Ditambah lagi, hampir 49,9% dari luas daratan ( 93,92 juta ha) adalah kawasan hutan yang merupakan habitat alami rayap. Diduga terdapat 300 jenis rayap di Indonesia. Di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan terdapat kurang lebih 233 spesies; 179 sudah diidentifikasi dan selebihnya belum teridentifikasi. Dari sekian banyak spesies rayap hanya beberapa yang memiliki peranan yang sangat penting sebagai hama perusak kayu dan bangunan, yaitu: Coptotermes spp (Rhinotermiidae); Schedorhinotermes (Rhinotermitidae); Macrotermis gilvus (Termitidae); dan Crytotermes cynocephalus (Kalotermitidae).

Frekuensi serangan rayap di beberapa kota di Indonesia sangat tinggi. Di DK Jakarta serangan rayap tanah pada bangunan rumah tinggal mencapai 55%; Kota Surabaya 36%; Semarang 41%. Demikian pula kota-kota lainnya, frekuensi serangan rayap rata-rata lebih ari 20%. Kerugian ekonomis akibat serangan rayap diperkirakan mencapai 3.73 juta US. Kondisi tersebut, diakibatkan oleh tingginya keragaman rayap di lingkungan permukiman, kayu sebagai bahan bangunan memiliki kelas awet yng rendah (80% kayu berkelas awet rendah), dan standar bangunan yang kurang mendapat perhatian.

Munculnya kasus serangan rayap telah mendorong berkembangnya industri pengendalian rayap. Perusahaan Pengendalian Rayap (Termite control Operator, TCO) berdiri pada kurang lebih pertengahan tahun 1970-an. Pada saat itu terdapat kurang lebih enam perusahaan TCO. Pada tahun 1980-an TCO berkembang menjadi 40-an perusahaan TCO; pada tahun 90 menjadi 110-an perusahaan TCO; dan pada Tahun 2007 tercatat tidak kurang 281 perusahaan pest control di Indonesia. Sementara itu, pada saat ini terdapat lebih kurang dari 29 merek dagang termitisida yang terdiri dari 11 jenis bahan aktif (a.i). Peningkatan jumlah TCO dan produk termitida menunjukkan peningkatan volume bisnis pengendalian rayap yang sangat berarti.

Di pihak lain, pengendalian rayap juga berkembang, yang ditandai oleh tiga era perkembangan, yaitu era perlakuan tanah dengan termitisida repelent (organoclorin, carbamat, organophosfat, synthetic pheretroid); era perlakuan tanah dengan termitisida non replent; dan era teknologi pengumpanan. Pada saat ini, ketiga teknik pengendalian rayap tersebut masih digunakan secara luas oleh masyarakat.

Pada masa yang akan datang diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih mendorong aplikasi perlindungan bangunan gedung dari serangan rayap.

STATUS MASALAH VEKTOR PENYAKIT DI INDONESIA



Keberadaan vektor penyakit telah menimbulkan masalah yang tidak henti-hentinya dihadapi oleh manusia, khususnya di negara kita. Negara kita menjadi daerah endemis bagi beberapa wabah penyakit yang ditularkan oleh vektor penyakit. Yang paling dirasakan tentunya adalah penyakit-penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dan tikus. Belum berhenti dan berhasil kita dalam menanggulangi masalah akibat tikus dan nyamuk, dalam beberapa tahun terakhir kita pun dihebohkan dengan wabah flu burung.

Kenyataan tersebut, selayaknya menyadarkan kita bahwa bahwa pengelolaan ekosistem permukiman tidak hanya berkaitan dengan masalah penataan ruang, pengelolaan energi, transportasi, penanganan pencemaran, masalah sosial, dan lain-lain tetapi juga harus secara sadar bahwa ada komponen hayati lain yang harus dikelola, yaitu berupa keberadaan vektor penyakit. Seringkali kita menomorduakan masalah keberadaan vektor, padahal fakta menunjukkan telah banyak korban jiwa akibat keberadaan vektor penyakit.

Sejak kasusnya demam berdarah pertama kali ditemukan di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, jumlah kesakitan demam berdarah terus mengalami peningkatan hingga saat ini telah puluhan ribu orang meninggal akibat demam berdarah. Bila pada tahun 1968 hanya dijumpai 58 kasus kesakitan, maka sepuluh dan dua puluh tahun kemudian kasusnya telah meningkat menjadi 6.989 dan 45.791 kasus.

Pada Tahun 2007 terdapat 123.828 penderita demam berdarah dan 1.256 diantaranya meninggal dunia. Memang terdapat kemajuan penanganan penderita deman berdarah dalam hal jumlah korban meninggal. Hingga awal tahun 80-an yang meninggal akibat deman berdarah dari total penderita lebih dari 30% dan kini pada tahun 2007 yang baru lewat kurang dari 2%. Namun jumlah penderitanya meningkat berlipat ganda.

Di pihak lain, sebaran deman berdarah pun semakin meluas. Tidak ada satu propinsi pun yang terbebas dari deman berdarah. Tidak kurang dari 201 kabupaten/kota telah terjangkit deman berdarah. Bahkan sampai data terakhir menyebutkan tidak ada bagian dari Wilayah Indonesia yang belum terjangkit deman berdarah.

Perkembangan kasus deman berdarah menunjukkan bahwa penyakit deman berdarah, hingga saat merupakan masalah yang belum dapat terpecahkan karena morbiditasnya (angka kesakitannya) tinggi dan penyebarannya semakin meluas.

Di samping demam berdarah, penyakit yang dibawa nyamuk lainnya pun masih merupakan ancaman dan menimbulkan korban jiwa, seperti malaria, filariasis (kaki gajah), chikunya, dan japanese enchepalisis (radang otak). Pada tahun 2004 terjadi beberapa kejadian luar bisa demam berdarah, baik di Pulau Jawa seperti di Sukabumi, Garut, dan Pekalongan; maupun di Luar Pulau Jawa seperti di Kab. Karimun-Riau Kepulauan; Aceh Besar dan Halmahera Utara-Maluku. Pada Tahun 2006 diperkirakan jumlah kesakitan malaria mencapai 1,8 juta jiwa; dan pada tahun 2007 menjadi 2,5 juta jiwa. Demikian halnya dengan penyakit kaki gajah kasusnya pun masih cukup tinggi.

Penyakit pest (plague) tercatat dalam sejarah dengan tinta hitam. Penyakit ini sangat menakutkan karena telah banyak membunuh manusia sejak 2500 tahun yang lalu. Penyakit ini telah menggoncangkan kota London karena telah membunuh separuh dari penduduk kota ini dan terkenal sebagai bencana “Black Death” yang membunuh 25 juta jiwa orang Eropa selama lebih dari 50 tahun pada abad ke 14. Penyakit lain yang ditular tikus dan populer di negara kita, khusunya pasca bencana banjir adalah leptospirosis. Pada tahun 2002 pasca bencana banjir di Jakarta tercatat 113 penderita leptospirosis dan 2 orang orang meniggal dunia.

Banyaknya jenis penyakit dan jumlah korban akibat penyakit yang ditularkan vektor menunjukkan bahwa masalah ini sangat penting. Potensi bahayanya pun terus meningkat, terlebih di negara kita yang memiliki faktor edafis dan klimatis yang mendukung kehidupan ventor penyakit, disamping akibat rendahnya kualitas sanitasi lingkungan. Dalam perspektif ekonomis keberadaan vektor dan penyakit yang ditularkannya telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, apabila dikalkulasi secara sederhana nilai biaya yang harus dikeluarkan masyarakat Indonesia untuk pengobatan demam berdarah saja akan tidak kurang dari 280 milyar setiap tahun, belum termasuk kerugian sosial lainnya. Mengingat hal tersebut tampaknya kita harus lebih memahami dan bergiat untuk menanggulangi permasalahan ini.

EKOSISTEM PERMUKIMAN DAN KEBERADAAN VEKTOR PENYAKIT

Ekosistem permukiman dalam hal ini sebuah ekosistem kota merupakan lingkungan buatan yang seutuhnya diciptakan manusia termasuk hubungan sosialbudayanya diciptakan untuk mereka sendiri. Ekosistem kota merepresentasikan ekpresi tertinggi dari perkembangan teknologi dan evolusi budaya manusia. Komponen yang mudah dikenali sebagai bagian dari ekosistem kota adalah bangunan gedung, komplek perumahan dan jaringan sarana transportasi. Juga termasuk di dalamnya sejumlah jenis tanaman dan binatang yang ditempatkan pada tempat hidup yang spesifik. Karakteristik dasar dari ekosistem kota secara umum tidak berbeda dengan ekosistem agrikutur. Di kedua ekosistem tersebut terjadi interaksi antara komponen hayati dan non hayati, kedua-duanya dipengaruhi oleh manusia. Namun dominansi peran manusia pada ekosistem kota jauh lebih tinggi, manusia mengendalikan komponen utama dalam lingkungan kota, yaitu manusia, komponen non-manusia, dan struktur fisiknya.

Manusia mengharapkan penyusun ekosistem kota bekerja bersama-sama untuk mendukung kehidupan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Namun demikian, komponen-komponen itu dan interaksi antar mereka seringkali menimbulkan masalah dalam pandangan manusia (antrophosentris).

Sejarah pekembangan kota menunjukkan bahwa pada awal tahun 1800 masyarakat yang hidup di ekosistem perkotaan diperkirakan hanya 1,7% dari seluruh populasi dunia. Pada saat itu masyarakat hidup di pedesaan dengan lingkungan hidup agraris. Hadirnya masyarakat industri pada akhir tahun 1800-an memulai kecenderungan terjadinya urbanisasi secara global. Pada tahun 1950 populasi masyarakat kota meningkat menjadi 28%, pada tahun 1985 mencapai 42%, dan pada tahun 2000-an akibat pertumbuhan pesat dari penduduk kota menyebabkan setengah penduduk dunia akan tinggal pada kota-kota besar. Tidak mengherankan jika pada saat ini disebut sebagai urban millineum.

Seperti halnya perkembangan kota-kota lainnya di dunia, perkembangan kota-kota di Indonesia pun mengalami percepatan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Sebagai contoh misalnya Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, diduga akan mengalami pertambahan ganda (doubling-time) dari apa yang terjadi pada saat ini. Jumlah penduduk kota ini akan meningkat dari 9.842.800 jiwa menjadi 19.773.875 jiwa sehingga kepadatan penduduk akan meningkat dari 14.851 jiwa/km2 menjadi 29.870 jiwa/km2. Di samping itu perkembangan megapolitan Jakarta dengan wilayah sekitarnya telah menyatu membentuk kawasan megapolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Kawasan ini juga pada akhirnya mengalami pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat tinggi, dari 16 juta jiwa pada tahun 1990, meningkat menjadi 19 juta jiwa pada tahun 1996 dan diperkirakan pada tahun 2020-an akan mencapai 30,2 juta jiwa. Demikian halnya dengan apa yang terjadi pada perkembangan kota-kota lain di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Perkembangan metropolis Surabaya telah menyebabkan meningkatnya urbanisasi sehingga jumlah penduduk Kota Surabaya juga diduga akan mengalami peningkatan dari 2.599.796 jiwa pada tahun 2005 menjadi hampir 4 juta jiwa pada tahun 2010. Peningkatan laju pertumbuhan kota Surabaya diikuti oleh perkembangan kota-kota seperti Sidoarjo, Gresik, dan Pasuruan.

Peningkatan jumlah penduduk di ekosistem perkotaan dimbangi dengan pertumbuhan ekonomi kawasan dan aset pembangunan seperti infrastruktur kota, jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, apartemen, dan lain-lain. Namun demikian terjadi pula peningkatan perubahan bentang alam, konversi lahan, peningkatan ketidakteraturan, berkurangnya kebersihan dan meningkatnya volume sampah serta pencemaran udara serta air. Di samping itu, muncul permasalahan yang berkaitan dengan hadirnya organisme-organisme vektor penyakit (hama permukiman). Kehadiran organisme vektor penyakit ini merupakan bagian dari masalah yang muncul pada ekosistem kota .

Berbagai vektor penyakit yang sebagian besar dari kelompok serangga mampu beradaptasi pada lingkungan yang khas dan kondisi yang diciptakan oleh manusia dan menjadi toleran terhadap kondisi suhu serta kelembaban tertentu yang merupakan karakteristik lingkungan hidup manusia.

Mengapa Vektor Penyakit Suksek Hidup dalam Ekosistem Perkotaan ?

Bagian terbesar dari organisme yang berperan sebagai vektor penyakit adalah kelompok serangga (antropoda). Tidak mengherankan karena serangga dapat kita jumpai dimana saja dan merupakan kelompok terbesar dari kingdom animalia (dunia binatang). Kelompok binatang ini menempati separuh spesies makhluk hidup yang ada di muka bumi. Keragamannya yang sangat besar, tentunya menunjukkan kemampuan dari kelompok binatang ini untuk bertahan hidup dalam setiap relung habitat yang ada di muka bumi termasuk untuk bertahan hidup pada lingkungan yang diciptakan manusia. Terdapat beberapa alasan mengapa serangga mampu hidup sukses dalam ekosistem perkotaan.

Ukuran dan Habitat Yang Efektif

Banyak serangga yang mudah dilihat karena ukuran yang besar hampir seukuran mamalia kecil namun sangat sukar mencari kutu busuk, tungau atau kepiding karena ukurannya yang kecil bahkan banyak pula serangga lain yang ukurannya jauh lebih kecil sehingga sangat sukar dilihat dengan mata telanjang.

Sebagain besar serangga vektor penyakit memiliki ukuran yang relatif kecil. Karena ukuranya yang kecil serangga vektor penyakit memiliki relung ekologis yang luas, mampu mengeksploitasi berbagai jenis habitat termasuk pada relung-relung/habitat yang luas wilayahnya juga sangat kecil. Sebagai contoh ratusan individu lalat dapat berkembang hanya pada kotoran kecil hewan berukuran besar. Ribuan kecoa dapat ditemukan pada retakan dan lubang-lubang kecil di dapur, sepanjang ada makanan dan air tersedia bagi populasinya. Nyamuk bahkan mampu bertelur, jentiknya hidup hanya pada tutup-tutup botol, kaleng bekas, atau pelepah daun palmae dimana terdapat genangan air yang sangat sedikit. Kemampuan mengekloitasi habitat inilah yang menyebabkan serangga dapat dijumpai dimana-mana di sekitar kita.

Kelimpahan dan Laju Reproduksi

Serangga walaupun berukuran kecil tetapi kelimpahan atau jumlahnya banyak pada suatu luasan tertentu dan mampu mencapai usia dewasa dengan cepat untuk bereproduksi. Kecoa Amerika (Periplaneta americana) dan keturunannya mampu menghasilkan 800 ekor kecoa dalam setahun bahkan kemampuan Kecoa Jerman (Blatella germanica) berreproduksi 3 hingga 4 kali lebih banyak. Satu betina kecoa jerman mampu menghasilkan 4 gerenasi per tahun, satu ekor betina menghasilkan 4-5 kantung telur (ooteka) dimana satu ooteka berisi 30-40 telur. Kecepatan reproduksi, ditambah ukurannya yang kecil dan bentuk tubuh yang pipih, menyebabkan kecoa jenis ini dapat ditemukan dalam jumlah banyak hanya di satu celah kecil di dapur.

Kebanyakan serangga betina menyimpan banyak telur di lokasi yang memiliki sumber makanan yang berlimpah bagi anak-anaknya yang nanti akan menetas. Jadi dapat dikatakan, kebanyakan serangga melalui tahapan reproduksi dan siklus hidup yang cepat. Kedua faktor ini (jumlah dan reproduksi) mengantarkannya menuju kemampuan penyesuaian diri (adaptasi) dengan lingkungannya.

Kemampuan Adaptasi

Ketika mahluk hidup secara seksual mengalami reproduksi relatif cepat dan berjumlah banyak, maka mereka akan menciptakan rentang genetik yang luas. Menciptakan populasi yang besar dengan variatas genetik yang luas berarti bahwa banyak seleksi dapat dilakukan, diantaranya populasi dapat beradaptasi terhadap berbagai kondisi dan tekanan lingkungan yang beragam. Serangga memiliki potensi untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dan dalam hal ini mungkin menjadi senjata mereka ketika melakukan kompetisi dengan manusia untuk memperoleh makanan dan tempat tinggal.

Kajian kepurbakalaan menunjukkan perkembangan phylogeni serangga yang mengagumkan. Serangga telah hadir ratusan juta tahun yang lalu dan mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungan biofera bumi. Kemampuan serangga untuk beradaptasi terhadap kondisi dan kemampuan menginvasi lingkungan mengarahkannya menuju perubahan cara mereka tumbuh dan berkembang. Serangga yang lebih primitif (seperti kecoa dan rayap) melalui perubahan kecil ketika mereka tumbuh dan menjadi dewasa, tetapi beberapa serangga yang lebih moderen melalui berbagai macam perubahan bentuk ketika mereka mencapai dewasa. Lalat, nyamuk dan kutu melalui metamorfosis sempurna yaitu perubahan bentuk yang lengkap ketika mereka tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Tahapan muda (larva) merupakan mesin makan, memulai hidup dengan menetaskan dirinya dari kulit telur di dalam atau di atas sumber makanan dan melewati hidupnya sebagai larva dengan cara makan dan tumbuh membesar. Ketika makanan cukup diakumulasi dalam lemak tubuhnya, serangga berubah kedalam bentuk lain (kepompong/pupa), yang seringkali melindungi diri dalam selubung yang didalamnya serangga mengalami transformasi yang luar biasa, perubahan menuju lalat, nyamuk atau kumbang dewasa, pupa menjadi imago, larva dengan mulut mengunyah menjadi serangga dewasa yang memiliki mulut menggigit dan menghisap. Tahap dewasa ini menghabiskan waktunya untuk menemukan pasangan dan menghasilkan keturunan berikutnya. Makan menjadi relatif tidak penting bagi serangga dewasa kecuali untuk betina yang memerlukan protein dan nutrisi lainnya untuk perkembangan telur seperti halnya nyamuk betina yang perlu darah untuk mematangkan telurnya.

Setelah melewati berbagai rentang waktu, melalui siklus hidup dan keanekaan genetik yang luas, beberapa strain serangga beradaptasi terhadap pengendali kimia dengan mengembangkan mekanisme resistensi terhadap pestisida yang digunakan.

Kemampuan beradaptasi karena adanya variasi genetik dan siklus hidupnya yang pendek merupakan alasan kemampuan hidup serangga dalam lingkungan hidup perkotaan.

Hewan Berpenutup Tubuh

Serangga, tidak seperti hewan tingkat tinggi, melindungi dirinya dengan rangka di luar tubuhnya. Penutup tubuh ini atau integumen terbuat dari kitin yaitu materi polimer terang yang memiliki fleksibilitas tetapi harus secara periodik terkelupas dan digantikan ketika tumbuh.

Intergumen merupakan tempat melekatnya otot-otot serangga. Penutup serangga juga merupakan lapisan-lapisan pakaian yang baik yang melindunginya dari kehilangan air tubuhnya. Seandainya penutup serangga bukan polimer kitin, dan tidak dilapisi oleh semen dan lilin maka serangga akan mudah mati akibat penguapan. Proses penyamakan (tanning) yang diikuti oleh kondensasi protein dalam lapisan kulitnya merupakan faktor yang penting dalam menentukan impermiabilitasnya terhadap air. Bila setetes air diteteskan pada seekor lalat, tetesan air itu akan habis menguap dalam waktu singkat tetapi air di dalam tubuhnya akan terlindung dari penguapan sehingga seekor lalat tidak akan mati. Serangga disamping dapat menahan penguapan juga dapat mengabsorsi air melalui spirakel yang ada pada intergumennya.

Serangga yang berukuran kecil dan memiliki luas permukaan yang besar sangat rentan mengalami penguapan, namun karena berpenutup tubuh yang unik maka ia mampu mengatasi masalah dan bertahan hidup.

Kemampuan untuk Terbang

Serangga merupakan hewan pertama yang mengembangkan kemampuan untuk terbang dan kemampuan ini sangatlah berperan penting dalam kesuksesannya berkompetisi dengan manusia. Kemampuan terbang ini menjadi modal perjuangan serangga untuk berkompetisi dengan manusia dan lingkungannya.

Masih banyak kemampuan serangga lain yang menyebabkannya mampu hidup sukses dalam lingkungan perkotaan. Telur nyamuk Aedes aegypti walaupun biasa diletakkan diatas air, namun mampu bertahan hidup lama, walaupun tanpa air, cukup pada lingkungan yang lembab. Seakan-akan telur beristirahat(dorman) menunggu waktu yang tepat untuk menetas. Demikian juga seekor lalat memiliki sepasang mata majemuk yang disusun dari jutaan omatidia menjadikannya sangat hebat dalam menangkap rangsangan visual. Sekolompok semut mengembangkan pertahanan koloninya dengan berbagai mekanisme komuniskasi kimiawi, ada komunikasi penanda bahaya ada komunikasi penanda jejak, dan lain-lain. Serangga mengembangkan kehidupannya yang ajaib sehingga mampu bertahan hidup.

Disamping kelompok serangga, vektor penyakit yang sukses hidup pada ekosistem kota adalah tikus. Tikus sebagai hewan rodentia sukses dalam beradaptasi di berbagai lingkungan, baik lingkungan yang nyaman maupun di lingkungan paling ekstrim sekalipun, seperti di daerah kering, kotor dan tandus. Di ekosistem kota, tikus hidup dan bersarang di saluran/sistem drainase, di rumah-rumah, di gudang-gudang tempat penyimpanan bahan pangan, di gedung-gedung perkantoran, di daerah perdagangan, atau di hotel-hotel dan bangunan gedung lainnya.

Jumat, 13 Maret 2009

MEMAHAMI ISTILAH HAMA PERMUKIMAN (URBAN PEST)


Rumah dan ekosistem permukiman merupakan lingkungan buatan yang diciptakan manusia. Karena merupakan hasil daya cipta manusia maka rumah dan lingkungannya seringkali membentuk variasi lingkungan mikro yang beragam, sangat tergantung pada manusia yang membentuk dan menempatinya. Setiap penghuni rumah tentu menginginkan agar rumahnya memberikan perlindungan, rasa aman, nyaman, dan bahkan memberikan kenikmatan dan kesenangan. Namun rumah dan lingkungannya juga acapkali memberikan perlindungan, ketersediaan makanan, tempat tinggal atau tempat istirahat bagi berbagai ragam organisme. Tidak terkecuali organisme yang keberadaannya dapat menimbulkan gangguan bahkan bahaya bagi para penghuni rumah.

Berbagai jenis kecoa merupakan contoh organime yang sukses menginvasi rumah dan ekosistem permukiman. Kecoa dapat berkembang sangat pesat di dalam rumah karena memperoleh makanan dan tempat berlindung yang memberikan kehangatan serta kelembaban. Demikian halnya dengan organisme lain, nyamuk, semut, dan tikus misalnya. Nyamuk memperoleh tempat beristirahat, tempat perindukan, dan sumber makanan. Tikus seringkali menggunakan lubang dan ruangan di dalam rumah sebagai tempat perlindungan dan sumber kehangatan dengan makanan dan minuman yang tersedia pada jarak yang aman.

Pada ekosistem permukiman, kehadiran organisme seringkali sangat kecil perbedaannya antara dinyatakan sebagai hama atau organisme bukan hama. Tentunya berbeda dengan ekosistem agrikultur atau pertanian, pespektif manusia mengenai hama dihubungkan dengan perspektif ekonomi. Ukuran ekonomi merupakan ukuran yang pasti yang dapat dilihat dari besarnya kehilangan hasil karena kerusakan yang timbul akibat serangan suatu organisme. Oleh karena itu, istilah hama pada ekosistem agrikultur menjadi lebih jelas.

Terminologi hama dalam ekosistem permukiman sangat tergantung pada sistem atau ambang nilai manusia yang seringkali tidak bisa ditakar dalam hitungan nilai ekonomis. Tentunya setiap manusia memiliki nilai ambang yang berbeda-beda tergantung pada status sosial, tingkat pendidikan, budaya, dan lain-lain. Karenanya kehadiran suatu organisme di dalam rumah kita, dapat saja dipersepsikan berbeda-beda. Mungkin sebagian orang tidak merasa terganggu dengan hadirnya laba-laba, semut, atau organisme lainnya di rumah dalam jumlah tertentu, tetapi ada pula sekelompok orang yang sama sekali tidak punya toleransi terhadap hadirnya organisme-organisme tersebut di dalam rumahnya (­zero tolerance). Dengan demikian maka setiap orang akan memiliki nilai ambangnya masing-masing untuk menentukan apakah organisme yang ada di rumah atau ekosistem permukiman dapat dikelompokan sebagai hama atau bukan hama permukiman.

Blog URBAN PEST yang ada dihadapan kita, akan mencoba membahas mengenai hama permukiman. Untuk memudahkan bahasan topik ini ke depan, istilah hama permukiman kita representasikan dengan sesuatu yang tidak diinginkan, sesuatu yang berada pada tempat yang salah, sesuatu yang dinilai mengancam, mengganggu kenyamanan, dan membahayakan kesehatan, merusak properties dan estetika. Ada banyak organisme yang berperan sebagai hama permukiman, sebagian besar termasuk kelompok serangga. Namun beberapa diantaranya temasuk kelompok binatang lain dan yang paling populer adalah tikus. Oleh karena itu, kita akan mendiskusikan yang paling sering dijumpai menjadi bagian dari lingkungan permukiman, seperti nyamukl, kecoa, lalat, semut, rayap, dan tikus.

Semoga kehadiran URBAN PEST memberikan konstribusi terhadap upaya pengendalian hama permukiman yang hingga kini masih merupakan masalah besar di negara kita.


Anda pengunjung ke